Saat-saat hari ‘Bakdo’ (=Lebaran bahasa Jawa) dijaman dulu sekitar lima puluh tahun yang lalu masih mampu meninggalkan kenangan yang sangat khas. Suasana dihari raya saat itu diramaikan oleh ledakan long bumbung. Dari segala penjuru terdengar suara blug…. blug….. blug silih berganti. Yang datangnya dari dekat selalu mengagetkan suaranya.
Dulu waktu aku masih kecil, papa pernah menyuruh salah satu pegawai kami untuk membikinkan long bumbung yang terbuat dari batang bambu yang disulut dengan minyak tanah. Bambunya harus besar untuk menghasilkan suara yang keras. Entah bagaimana cara memasang long bumbung ini aku tak ingat lagi. Yang aku tahu harus menggunakan batang bambu dan minyak pet (minyak tanah).
Selain long bumbung, yang memberikan nostalgia tersendiri disaat Bakdo adalah hidangan hantaran dari para langganan toko dan pegawai kami. Karena kami tinggal diwilayah Kecamatan, jadi hidangan hantaran ini bukanlah makanan mewah orang kota. Tapi buat kami sekeluarga justru menu Lebaran orang desa itulah yang memberikan cita rasa tersendiri. Sederhana memang, tapi punya kelezatan tersendiri. Aku ingat mama selalu memberi dua kilo gula pasir dan beberapa bungkus teh kepada semua yang memberi makanan Lebaran.
Waktu itu, hantaran makanan Hari Raya biasanya ditaruh didalam tenggok yang digendong. Tenggok adalah semacam keranjang anyaman dari bambu yang biasanya digendong oleh kaum wanita untuk membawa barang barang. Dari begitu banyaknya hantaran, variasi makanannya hampir sama yaitu terdiri dari nasi lengkap dengan lauk pauknya:
- Nasi gurih, yaitu nasi putih yang dimasak dengan santan
- Ayam ingkung yang dimasak bumbu semur. Seringnya ayam yang dimasak utuh dengan bumbu kecap, bawang merah dan merica. Sering memakai soun.
- Sambal goreng kerecek, yang isinya selain kerecek juga ada potongan kentang kecil kecil dan petai.
- Bihun goreng
- Serundeng kelapa dan kedelai hitam goreng.
- Perkedel kentang
- Rempeyek dan Kerupuk
- Kue Jadah
- Rangginan
Selain nasi dengan lauknya, juga ada kue jadah asin dan manis. Kue jadah adalah ketan dan kelapa yang dimasak, ditumbuk dan dicetak. Yang manis diberi gula jawa.
Semua makanan lebaran dari desa ini mempunyai rasa yang begitu khas yang memberi kelezatan tersendiri. Mama bilang karena semua makanan dimasak dengan menggunakan bara api dan kuali tanah.
Sudah lama sekali aku tidak pernah ada di Indonesia selama masa Lebaran, jadi aku tak tahu lagi perkembangan menu Lebaran selama ini. Mungkin sekarang menu Lebaran didaerah pelosok sudah tidak sama lagi dengan dizaman dulu ditahun 50/60-an. Mungkin sekarang menu sudah jauh lebih modern……. namun lezatnya semur ayam dan sambal goreng kerecek Lebaran diwaktu masa kecilku dulu masih meninggalkan nostalgia tersendiri yang tak akan terlupakan 🙂
Lois
Jul 18, 2015 @ 12:36:33
Komentar dari: Kutukamus (aslinya diposkan di:
[Numpang di sini, soalnya comments closed di sana]
Masa di Sukorejo dulu, waktu Lebaran kenalan yang juragan toko biasa ‘kirim KGB’ (Khong Guan Biscuits—yang saat itu konon masih impor dan ‘berstatus mewah’), yang segera dibalas Nenek dengan kirim hidangan Lebaran. Jadi agak lucu memang (sekaligus mencerminkan hubungan yang hangat), saat Lebaran kami yang berlebaran justru pontang-panting memasak untuk mereka yang notabene tidak berlebaran (untuk yang sama-sama berlebaran orang masih mementingkan tatap muka), lalu saat Imlek kami yang tidak Imlek tinggal ongkang-ongkang full senyum ‘tunggu setoran’. 😀
Lois
Jul 18, 2015 @ 12:40:43
Feb 18, 2015 @ 10:04:38
Menurut saya, para langganan toko kami dan juga pegawai kami tidak hanya memasak hidangan lebaran untuk kami saja, tapi memang sudah tradisi waktu itu untuk memberikan ‘wewehan’ lebaran kepada sanak saudara dan mereka yang dianggap pantas mendapatkannya/dihormati dan juga untuk dimakan keluarga sendiri tentunya.
Merupakan kehormatan besar bagi kami untuk menerima makanan yang merupakan ‘kemewahan setahun sekali’ bagi rata-rata orang pedesaan waktu itu.
Semua makanan tidak kami sia-siakan, jadi beberapa hari kami makan nasi gurih, semur ayam dan sambel goreng ‘with all the trimmings’ 3 x sehari. Semua nasi dijadikan satu dan lauk juga dijadikan satu karena banyaknya. Untungnya setelah setiap hari dididihkan/ dipanaskan supaya tak basi; nasi, semur ayam dan sambel goreng rasanya malah semakin sedap 🙂 Waktu itu tak ada kulkas.
Kalau para pegawai dan rewang datang kerja setelah hari Lebaran, mereka akan kebagian makan menu lebaran ini lagi, komplit dengan jadahnya dan rangginan….. Jadi mereka pesta lagi. Ha…..Saya ingat kalau ada banyak sekali kue jadah, kami iris tipis-tipis dan dijemur. Kalau sudah kering digoreng, enak buat camilan.
Seingat saya, kalau Imlek malah tak ada perayaan sama sekali, jadi kami tidak ‘wewehan makanan’ sama sekali. Namun sebelum hari lebaran biasanya kami memberikan paket lebaran (pakaian baru) dan ‘angpao’ untuk para pegawai dan rewang.
Heran ya, semakin seseorang ‘ngunduri tuwa’ like myself, pasti akan berkata bahwa jaman dahulu itu lebih rukun, nyaman dan tenteram.