Dirumah keluarga di Jawa Tengah, pohon pohon jati yang menjulang tinggi tumbuh mengelilingi halaman disamping rumah. Dimusim kemarau, daun-nya yang besar dan lebar banyak berguguran. Waktu aku memperhatikan burung-burung gereja yang bernaung diatas pohon pohon jati ini, jadi teringat kenangan masa lalu. Dulu ditahun lima puluhan dan tahun enam puluhan sebelum plastik dipakai untuk bahan kemasan.

Waktu itu disaat aku masih kecil, daun jati umum digunakan untuk membungkus. Bukan saja sebagai pembungkus nasi atau makanan jajan pasar, daun jati juga digunakan untuk membungkus belanjaan dari pasar ataupun toko yang menjual bermacam macam hasil bumi seperti beras, jagung, kedelai, kacang hijau dsb. Dibandingkan dengan daun pisang, daun jati waktu itu lebih murah dan lebih kuat tak mudah robek. Jadi cocok sekali untuk membungkus.

Ditoko kami, hanya gula pasir yang dikemas dengan kertas payung yang warnanya coklat itu. Kopi dan teh memang dari pabriknya sudah dikemas juga dengan kertas. Namun yang lainnya seperti beras, kacang hijau, kedelai dsb, semua dibungkus dengan daun jati kalau dijual eceran, kalau yang beli dalam jumlah besar diatas lima kilo seringnya mereka datang dengan membawa tempat sendiri.

Membungkus dengan menggunakan daun jati itu ada cara dan seninya sendiri dengan menggunakan dua helai daun jati yang digulung berbentuk contong atau kerucut dalam bahasa Indonesianya. Kalau kerucut ini kurang besar atasnya disambung lagi dengan beberapa daun mengeliling. Jadi pertama-tama barang yang dibeli ditimbang dulu. Kalau sudah ditimbang baru bikin contongnya. Setelah contong dibuat dan cukup besarnya, yang akan dibungkus dituang kedalamnya. Supaya bungkusan ini tidak terbuka, pinggir pinggirnya disemat dengan biting. Biting adalah bahasa Jawa untuk potongan lidi yang sengaja dipotong serong ujung-ujungnya supaya tajam dan mudah utuk disematkan. Setelah semua sambungan daun disisi contong  sudah di-‘bitingin’, atas contong itu ditutup dengan melipat ujung-ujungnya dan juga harus disemat lagi dengan ‘biting’. Kalau misalnya daun kurang panjang dan tak bisa menutup bungkusan, atasnya ditaroh selembar daun dan setelah itu baru ujung daun dilipat rapi.

Ingat dulu waktu mama pertama kali mengajar kami bagaimana cara membuat contong daun. Mama bilang harus rapi dan kuat bungkusannya supaya tidak terbuka ditenggok. Waktu itu wanita sering membawa belanjaan dengan menarohnya didalam tenggok yang digendong dibelakang dengan selendang. Tenggok adalah semacam keranjang yang dianyam dari bambu. Ingat mama bilang kalau bungkusannya tidak kokoh, kan kasihan kalau semua bungkusan bedah/terbuka semua. Bayangkan kalau bungkusan itu isinya ada yang beras, ada yang kedelai, ada yang kacang hijau dsb….. kalau bungkusan terbuka semuanya bisa tercampur baur ditenggok. Bayangkan pembeli harus memisah-misahkan. Kata mama, pada waktu itu kalau ada pedagang yang tak bisa membungkus dengan daun jati dengan bagus dan sering terbuka, langganan jadi enggan beli lagi.

Jadi ingat juga waktu permulaan aku membantu jualan ditoko, langganan selalu berpesan supaya aku membungkus dengan kokoh dan tak bedah (terbuka) semua. Ada juga yang maunya dilayani oleh mama sendiri, karena takut bungkusan-ku tidak bagus dan kuat. Jadi saja waktu itu aku (kira kira berumur 8 atau 9 tahun) hanya boleh membungkus yang kurang dari 1 kg.

Ya begitulah…. waktu itu lebih dari empat puluh tahun yang lalu, kehidupan begitu sederhana dan tidak sepraktis sekarang. Namun kalau dipikirkan lagi, zaman dahulu tidak banyak sampah karena semua yang digunakan adalah didapat secara alami. Daun akan cepat hancur dan membusuk kembali ketanah. Memang dizaman sekarang, setelah plastik dipakai untuk bahan kemasan apa apa begitu mudah dan praktis. Bahkan minyak gorengpun dikemas didalam kantong plastik.  Tapi segi negatif-nya tidak lah kecil. Plastik sudah menjadi sampah yang mencemari semua ujung bumi ini. Dimanapun anda berada, sampah plastik pasti dijumpai, bahkan disungai dan lautan-pun banyak dijumpai barang-barang plastik yang bisa sampai puluhan tahun tidak bisa hancur.

Sampai sekarang di daerah pelosok di-Jawa, walau mulai langka, daun jati masih digunakan oleh sebagian kecil pedagang untuk membungkus, seperti nasi atau tempe. Entah akan berapa lama kebiasaan membungkus dengan daun jati ini akan bisa bertahan?